
Toxic Positivity: Ketika Kalimat “Semua Akan Baik-Baik Saja” Malah Menyakitkan
Saat kamu sedang sedih, kecewa, atau merasa hancur, pernahkah seseorang berkata, “Semua akan baik-baik saja,” atau “Kamu harus tetap bersyukur”? Meskipun terdengar positif, kalimat-kalimat seperti ini bisa terasa menyakitkan. Inilah yang disebut sebagai toxic positivity—sikap positif yang berlebihan dan tidak pada tempatnya.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity terjadi saat seseorang memaksakan sikap positif dan menolak atau mengabaikan emosi negatif. Alih-alih memberi ruang untuk merasa sedih atau kecewa, kita malah menyuruh diri sendiri (atau orang lain) untuk “selalu bahagia.”
Misalnya, ketika teman kehilangan orang tercinta, lalu kita hanya berkata, “Setidaknya kamu masih punya keluarga lain,” tanpa benar-benar mendengarkan kesedihannya. Reaksi seperti ini mungkin dimaksudkan untuk menghibur, tetapi justru bisa menambah luka emosional.
Kenapa Toxic Positivity Bisa Menyakiti?
Emosi negatif seperti sedih, marah, atau kecewa bukanlah musuh. Mereka bagian dari pengalaman manusia yang wajar. Ketika kita menolak atau menyangkalnya dengan kalimat positif yang dangkal, kita sebenarnya sedang mengabaikan kebutuhan emosional seseorang.
Berikut dampak toxic positivity yang sering tidak disadari:
- Orang merasa tidak dipahami atau tidak layak merasa sedih
- Emosi negatif terpendam dan menumpuk
- Muncul rasa bersalah karena merasa “tidak cukup bersyukur”
- Hubungan jadi terasa dangkal dan tidak aman
Dengan kata lain, niat baik tanpa empati bisa berubah menjadi luka yang tidak terlihat.

Contoh Kalimat Toxic Positivity vs Kalimat Validatif
Toxic Positivity | Kalimat Validatif |
---|---|
“Semua akan baik-baik saja.” | “Aku tahu ini berat buat kamu.” |
“Setidaknya kamu masih punya yang lain.” | “Kehilangan itu menyakitkan, dan wajar kalau kamu sedih.” |
“Kamu harus tetap positif!” | “Gak apa-apa kok merasa kecewa.” |
Perhatikan perbedaannya. Kalimat validatif memberi ruang untuk emosi, bukan menolaknya.
Kenapa Kita Sering Melakukannya?
Terkadang, kita tidak tahu harus berkata apa ketika orang lain terluka. Kita takut membuat suasana semakin berat, jadi kita memilih kalimat-kalimat “aman” yang terdengar positif. Selain itu, budaya yang menuntut “kuat dan bersyukur terus” juga memperkuat kecenderungan toxic positivity ini.
Namun, jika kita terus memaksakan senyum di atas luka, kita justru menciptakan jarak dari emosi kita sendiri.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Langkah pertama adalah sadar dan jujur terhadap emosi. Ketika kita mengizinkan diri sendiri (dan orang lain) untuk merasa, kita sedang menciptakan ruang penyembuhan.
Berikut beberapa cara menggantikan toxic positivity dengan empati:
- Dengarkan tanpa buru-buru memberi nasihat
- Validasi emosi orang lain dengan berkata, “Aku di sini kalau kamu butuh cerita.”
- Akui bahwa tidak semua hal bisa segera membaik, dan itu tidak apa-apa
- Latih diri untuk duduk dalam ketidaknyamanan, tanpa harus memperbaikinya
Positif Itu Perlu, Tapi Jangan Berlebihan
Sikap positif tentu penting. Tapi ketika digunakan untuk menutupi rasa sakit atau memaksa orang lain “cepat pulih”, maka kita bukan sedang membantu—kita sedang menekan.
Berikan ruang bagi emosi. Dengarkan tanpa menghakimi. Kadang, yang paling dibutuhkan seseorang hanyalah ditemani, bukan “diperbaiki”.
Baca Juga: Anak Sering Tantrum? Ini Bukan Sekadar Nakal
Jika kamu merasa kewalahan oleh tekanan untuk “selalu bahagia”, atau bingung menghadapi emosi yang tak kunjung reda, kamu tidak sendiri.
Sanara Psychotherapy & Counseling siap mendampingimu untuk mengenali, menerima, dan memproses emosi dengan sehat.
📞 WhatsApp: 0881-0818-50808
📧 Email: halo@sanara.id